Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

-advertising-

Beranda > Berita Utama > Mengenang 11 Tahun Alm. Chrisye: Telaah Kritis Yan Widjaya

Mengenang 11 Tahun Alm. Chrisye: Telaah Kritis Yan Widjaya

Berita Utama | Senin, 2 April 2018 | 13:06 WIB
Editor : ARUL Muchsen

BAGIKAN :
Mengenang 11 Tahun Alm. Chrisye: Telaah Kritis Yan Widjaya

Jakarta,  KABARINDO-Portal- Redaksi mendapati artikel menarik dari telaah kritis pengamat perfilman dan jurnalis senior,  Yan Widjaja. 

ADAKAH manusia yang hidup abadi?
   Tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang hidup abadi kecuali di dalam cerita-cerita dongeng atau legenda belaka.
   Sampai berapakah usia pukul rata lelaki Indonesia?
   Menurut statistik panjang usia yang pernah kudengar, pada masa kini usia lelaki Indonesia hanyalah mencapai 60 tahun  (jauh di bawah pencapaian usia lelaki Jepang yang pukul rata mampu mencapai 90 tahun). Jadi kalau ada seseorang yang melewati batasan usia tersebut, boleh dianggap sebagai mendapatkan bonus dari Allah Yang Maha Kuasa.
    Usia seseorang memang terbatas, bahkan sangat terbatas, namun ada yang abadi, bisa mencapai bertahun-tahun, puluhan malah ratusan tahun setelah kepergiannya. Apakah itu? Bukan lain daripada karya atau karya-karyanya!
   Khususnya bagi para seniman besar, karya mereka akan tetap ada jauh setelah sosoknya tiada lagi. 
    Pelukis, karya lukisnya masih bisa dinikmati di museum.
    Pematung, patung-patung buatannya tak lekang dimakan zaman.
    Pengarang, cerita karangannya tetap dibaca berabad-abad kemudian.
   Sineas dan para aktor, film besutannya ditonton dan dibahas oleh generasi berikutnya.
    Pemusik, penyair, dan para penggubah lagu, karya mereka dinyanyikan dan dinikmati oleh anak-cucunya. 
    Itulah beberapa contoh tentang karya abadi yang bisa dilihat di sekeliling kita. 
    Nah, khusus mengenai Chrisye, suaranya, lagu gubahannya, bisa diresapi sampai hari ini, Jumat, 30 Maret 2018, tepat 11 tahun setelah kepergiannya.
    Sebagai wartawan film (saat itu di majalah Ria Film) aku pertama kali mengenal sosok Chrisye setelah dia memenangkan Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors 1977 dengan lagu Lilin-lilin Kecil. Sempat juga Chrisye tampil sebagai cameo (istilah dalam dunia film yang berarti memerani dirinya sendiri bukan tokoh fiksi atau rekaan) dalam sebuah film drama-musikal. Judulnya, Seindah Rembulan (1980), arahan sutradara Syamsul Fuad, mendukung permainan rekan-rekannya seperti; Iis Sugianto, Lydia Kandou, Christine Panjaitan, Rinto Harahap, Mariance Mantouw, Rita Butar Butar, dan Sys NS. 
    Film tersebut mendapatkan sambutan yang cukup memuaskan dari masyarakat penggemar film Indonesia, terus terang bukan karena ceritanya yang berkadar biasa-biasa saja. Skenarionya ditulis oleh Deddy Armand yang dikenal biasa ngebut merampungkan sebuah skenario dalam tempo relatif singkat, cuma seminggu lamanya. Inti ceritanya sederhana sekali, tentang gadis manis dari kampung bernama Iis yang menjadi penyanyi hingga berhasil membiayai perawatan orang-tuanya yang sakit. Lokasi syutingnya pun cukup di studio dan sekitarnya, serta sebuah panggung pertunjukan. Jadi, apa yang mendatangkan kelarisan? Bukan lain karena dibintangi oleh seabreg biduanita pop cantik yang tengah berada di puncak kepopuleran.
    Saat Chrisye menjadi penyanyi muda yang sedang naik daun pada era awal 1980-an itulah, aku pernah mengusulkan pada Ratno Timoer untuk memasangnya sebagai pemain utama dalam sebuah film baru yang tengah dipersiapkan untuk diproduksi.
    “Ah, Chrisye? Ndak ah, terlalu kurus kerempeng, nanti ditiup angin kencang aja bisa jatuh,” tolak produser-sutradara-aktor yang tersohor dengan julukan Si Buta dari Goa Hantu  itu dengan setengah bercanda.
    Yah, maklumlah Ratno hanya membuat film-film action,  yang selalu dibumbui dengan adegan laga atau perkelahian.
    Agaknya garis tangan Chrisye (Jakarta, 16 September 1949 - Jakarta, 30 Maret 2007) memang  menjadi penyanyi saja, bukan aktor. Sepanjang ingatanku, memang hanya satu film itu sajalah di mana Chrisye tampil sebagai pemain.
   Sempat kutanyakan secara pribadi kepada Chrisye pada tahun 1981 setelah Seindah Rembulan beredar dan Rinto Harahap berinisiatif bikin film-film musikal lagi berdasarkan lagu-lagu gubahannya, “Bagaimana, mau main film apa lagi berikutnya?”
   “Nggak ah, cape jadi pemain film, gue nggak bakat akting, biar yang lain saja, enakan menyanyi aja deh,” kilahnya, “Gue ikutan main cuma partisipasi pada Bang Rinto yang mengundang gue tampil di filmnya.”
  Ternyata Chrisye kapok berakting karena terlalu banyak membuang waktu menunggu di lokasi syuting. Untuk adegan tampil satu menit di layar bioskop bisa makan waktu berjam-jam pembuatannya. Film yang diporoduksi oleh Rinto Harahap itu menghabiskan dua minggu shooting days. Apa lagi tentu saja honorarium Chrisye sebagai pemain film tidak sebanding dengan yang diterimanya sebagai penyanyi di panggung saat tour show.
   Sepuluh tahun sepeninggalnya atas insiatif sahabat-sahabatnya, antara lain Alex Kumara, baru dibuat film Chrisye (2017) yang diproduksi MNC Pictures dibesut Rizal Mantovani. Tokoh Chrisye diperani oleh Vino G Bastian dengan cukup baik. Hasilnya dari bioskop mencatat 230.995 penonton. Tidak terlalu buruk, tapi sejujurnya seharusnya bisa menangguk lebih banyak lagi penonton, minimal lima ratus ribu lah! Di mana letak kekurangannya? Kemungkinan pada promosi karena pihak PH-nya kelewat pede, yakin fans Chrisye yang berjuta-juta jumlahnya akan berduyun-duyun datang menonton. Faktanya tidaklah demikian, harus ada pancingan, daya tarik lain untuk memikat orang datang ke bioskop dan membayar tiket.
   Sepanjang hayatnya lebih dari 200 lagu direkam Chrisye. Sebagian ditulis liriknya sendiri, namun banyak juga gubahan rekan-rekannya dari Eros Djarot, Adjie Sutama, Guruh Soekarnoputra, Djunaedi Salat, Jocky Suryoprayogo, Dodo Zakaria, Fariz RM, dan lain-lain.
   Nah, dari sekian banyak lagunya, manakah yang terbaik?
   Banyak pengamat menyebut Ketika Tangan dan Kaki Berkata yang syairnya digubah oleh Taufiq Ismail, karena mengingatkan setiap pendengarnya akan hari akhir kelak. Betul, lagu tersebut memang dahsyat nian, sampai lidah Chrisye sendiri sempat kelu, tak sanggup menyanyikannya pada saat pertama merekamnya di studio.
    Namun bagi aku pribadi, lagunya yang teramat mengharu-biru bukan itu, melainkan  Kisah Cintaku karya Tito Soemarsono.
Dimalam yang sesunyi ini Aku sendiri Tiada yang menemani Akhirnya kini kusadari Dia telah pergi Tinggalkan diriku  (Kini kau tlah pergi tinggalkanku)  Adakah semua kan terulang Kisah cintaku yang seperti dulu (Mungkinkah terulang lagi)  Hanya dirimu yang kucinta dan kukenang Di dalam hatiku (di dalam hatiku) Takkan pernah hilang (takkan pernah hilang) Bayangan dirimu untuk selamanya (selamanya) 
Reff: Mengapa terjadi (tlah terjadi) Kepada dirimu (di dirimu) Aku tak percaya kau telah tiada  Haruskah ku pergi tinggalkan dunia Agar aku dapat berjumpa denganmu  Adakah semua kan terulang Kisah cintaku yang seperti dulu (Mungkinkah terulang lagi)  Hanya dirimu yang kucinta dan kukenang Di dalam hatiku (di dalam hatiku) Takkan pernah hilang (takkan pernah hilang) Bayangan dirimu untuk selamanya (selamanya)

    Apa yang menyebabkan aku terharu-biru pada lagu ini? Karena setiap baitnya, kalimat per kalimat terasa sangat kena menusuk hatiku, mengingatkan aku kepada isteriku tercinta, Iin, yang sudah tiada (Jakarta, 2 November 1951 -  Jakarta, 20 Desember 2004).
    Setelah dirawat inap tiga hari tiga malam di Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, Jakarta Barat, Iin pergi untuk selamanya, menjelang Hari Raya Natal. Isteriku mengidap kanker yang tak tersembuhkan, penyakit yang sama dengan yang diderita Chrisye, kendati telah melakukan berbagai cara pengobatan termasuk alternatif. Dia yang telah mendampingi aku dengan setia selama dua puluh lima tahun dalam suka dan duka, merangkak dari ketidak-mampuan sampai berkecukupan, dan di atas semuanya telah melahirkan tiga orang anak untukku. Entah kapan bila tiba saatnya aku juga dipanggil Tuhan, untuk dapat berjumpa lagi dengannya, mungkin dalam waktu yang tidak akan terlalu lama lagi...
   Larut malam bila sayup-sayup mendengar lagu tersebut berkumandang, betapa nyess rasanya. Isi hatiku ini mungkin  sama dengan perasaan semua orang yang telah mengalami kehilangan orang yang dicintainya. Tidak terbatas pada isteri atau keluarga, bisa pula terhadap tokoh yang disayanginya dengan setulus hati. Termasuk Ferry Mursyidan Baldan yang setiap tahun tanpa putus selama sebelas tahun tepat pada tanggal 30 Maret mengajak sejumlah rekan berziarah ke makam Chrisye di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan, untuk memanjatkan doa bagi almarhum. Tak disangsikan lagi sebagai Ketua K2C (Kelompok Kangen Chrisye), beliau adalah fans terbesar Chrisye.
    Oleh sebab itulah, sampai hari ini, bila mendengar lagu itu dinyanyikan, belakangan digubah kembali oleh Grup Akapela T-5, kedua mataku selalu berkaca-kaca. Aku terkenang pada mendiang isteriku yang meninggalkan aku menjadi duda empat belas tahun silam. Dus mau tak mau teringat pula pada penyanyinya, Chrisye, yang telah pergi sebelas tahun lalu. Semoga kini mereka telah damai di surga. Amin.


RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER