Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

-advertising-

Beranda > Berita Utama > Pentingnya Memahami Penulisan Berita yang Responsif Gender; Tepat Memilih Angle, Perspektif & Narasumber

Pentingnya Memahami Penulisan Berita yang Responsif Gender; Tepat Memilih Angle, Perspektif & Narasumber

Berita Utama | Minggu, 29 Agustus 2021 | 18:08 WIB
Editor : Natalia Trijaji

BAGIKAN :
Pentingnya Memahami Penulisan Berita yang Responsif Gender; Tepat Memilih Angle, Perspektif & Narasumber

Pentingnya Memahami Penulisan Berita yang Responsif Gender; Tepat Memilih Angle, Perspektif & Narasumber

FJPI gelar webinar jurnalisme responsif gender dengan narasumber Maria Hartiningsih

Surabaya, Kabarindo- Kepekaan jurnalis dalam meliput dan menulis berita menjadi satu tuntutan dasar agar dapat menghasilkan berita yang baik dan berkualitas, terutama kepekaan dalam menulis berita tentang kelompok marjinal dan yang mengalami ketidakadilan.

Untuk itu, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menggelar webinar dengan tema “Jurnalisme Responsif Gender” pada Sabtu (28/8/2021) dengan narasumber Maria Hartiningsih, jurnalis senior Harian Kompas (1984-2015), penulis dan penerima Yap Thiam Hien Award.

Ketua FJPI, Uni Lubis, mengatakan webinar ini merupakan momen reconnecting terutama pada masa pandemi, karena banyak hal yang bisa dilakukan secara daring, seperti kesempatan untuk belajar hal-hal yang baru maupun yang sudah pernah dipelajari.

“Satu yang muncul pada masa pandemi dari laporan UN Women, yaitu meningkatnya kasus KDRT serta banyaknya tempat yang berbahaya bagi perempuan maupun anak. Banyak sekali isu tentang perempuan. Pada awal pandemi, kita membuat liputan meningkatnya angka aborsi yang tidak diinginkan,” katanya.

Menurut Uni, isu-isu perempuan dan anak semakin meningkat. Jangan sampai hal ini tidak menjadi isu mainstream bagi jurnalis. Pandemi ini bukan hanya soal krisis kesehatan dan ekonomi, namun juga krisis sosial.

“Voice of the voiceless itu harus terus diingatkan kepada kita dalam menjalankan tugas sebagai jurnalis. Itulah sebabnya FJPI dua kali sebulan akan membuat kegiatan seperti webinar ini. Tujuannya agar kita terus memastikan pengarusutamaan mainstream untuk semua liputan kita dan terus membangun kesadaran,” ujar Uni.

Maria memaparkan, gender ini merupakan persoalan kesetaraan dan dominasi. Bisa dilihat bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan selalu lebih besar. Namun tidak hanya laki-laki terhadap perempuan, bisa juga perempuan terhadap perempuan. Intinya, gender ini adalah dominasi antara yang kuat terhadap yang lemah.

Menurut Maria, gender berbeda dengan jenis kelamin biologis yang ciri-cirinya sudah melekat sejak lahir. Gender merupakan jenis kelamin sosial, berupa rekayasa atau konstruksi sosial, dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, sosial, ekonomi, politik, budaya, adat istiadat, etnik, golongan, sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Gender itu sifatnya tidak menetap,” ujarnya.

Sebagai contoh, lahirnya asumsi bahwa laki-laki lebih kuat, gagah, disiplin dan lebih pintar, sehingga bekerja di ruang publik. Sementara asumsi perempuan lemah lembut, keibuan, halus serta tempatnya bekerja di dalam rumah, sumur, dapur dan kasur. Asumsi ini melebar bahwa ranah publik dan politik seperi eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan milik laki-laki.

“Padahal tak ada kaitannya antara jenis kelamin dengan kemampuan memimpin dan bernegosiasi,” ujar Maria.

Media massa sendiri menggambarkan perempuan dengan P-5 yaitu citra peraduan, citra pigura, pilar rumah tangga, citra pergaulan dan citra pinggan. Contohnya dapat dilihat dari berbagai iklan di media massa. Seperti iklan ban yang selalu menggunakan perempuan seksi, padahal tidak ada hubungannya. Juga iklan sabun cuci selalu menggunakan model perempuan. Hal ini perlu dipertanyakan apakah pekerjaan domestik hanya untuk perempuan. Bukankah laki-laki juga terbiasa mencuci baju.

Maria menambahkan, defenisi gender sudah dikembangkan para ahli. Joan Wallach Scott, sejarawan Amerika, menyebut gender sebagai persoalan relasi kuasa dalam hubungan-hubungan sosial, khususnya antara perempuan dan laki-laki. Kondisi ini memunculkan ketidakadilan gender, karena adanya relasi kuasa yang timpang sehingga menciptakan diskriminasi terhadap salah satu gender. Biasanya laki-laki yang lebih diuntungkan. Karena itu, perspektif kesetaraan dan keadilan atas dasar relasi kuasa sangat penting digunakan dalam kerja jurnalistik.

“Apalagi perempuan dan anak merupakan isu multidimensi yang tersebar dalam berbagai isu dan komprehensif, sehingga membutuhkan pemahaman mengenai duduk soal adalah keharusan agar tidak keliru memilih angle berita, perspektif maupun narasumber,” ujarnya.

Maria juga memaparkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menulis berita terkait isu perempuan, seperti menulis berita perkosaan dan kekerasan seksual hingga bagaimana sebaiknya menulis berita tentang kelompok-kelompok yang terpinggirkan karena pilihan seksual, biologis maupun psikologis mereka.

Penulis: Natalia Trijaji


TAGS :
RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER